Kegiatan membaca puisi (poetry reading) mulai populer sejak hadirnya kembali WS. Rendra dari kelananya di Amerika Serikat. Agar Anda dapat membaca puisi dengan baik perlu memperhatikan hal-hal berikut:                                       *Interpretasi (penafsiran)
Untuk memahami sebuah puisi kita harus dapat menangkap simbol-simbol atau lambang-lambang yang dipergunakan oleh
penyair. Bila kita salah dalam menafsirkan makna simbol/lambang, kita dapat salah dalam memahami isinya.
*Teknik vokal
Untuk pengucapan yang komunikatif diperlukan penguasaan intonasi, diksi, jeda, enjambemen, dan lafal yang tepat.
*Performance (penampilan)
Dalam hal ini pembaca puisi dituntut untuk dapat memahami pentas dan publik.
          Pembaca puisi juga dapat menunjukkan sikap dan penampilan yang meyakinkan. Berani menatap penonton dan mengatur ekspresi yang tidak berlebihan. Selain itu, pembaca puisi harus memperhatikan pula irama serta mimik. Mimik merupakan petunjuk apakah seseorang sudah benar-benar dapat menjiwai atau meresapkan isi puisi itu. Harmonisasi antara mimik dengan isi (maksud) puisi merupakan puncak keberhasilan dalam membaca puisi.
          Ingatlah tidak setiap puisi dapat dibaca (dilisankan) tanpa menempatkan tanda tafsir pengucapannya terlebih dahulu. Adakalanya Anda menemui deretan baris atau bait yang satu dengan yang lain mempunyai jalinan pengucapan atau ada pula yang secara tertulis terpisah, sehingga perlu jeda. Bila Anda kurang tepat dalam memberi jeda, akan dapat mengaburkan maknanya.
          Seorang penyair mempunyai beberapa kiat agar puisinya dapat dicerna atau dinikmati pembaca. Penyair kerap menampilkan gambar angan atau citraan dalam puisinya. Melalui citraan penikmat sajak memperoleh gambaran yang jelas, suasana khusus atau gambaran yang menghidupkan alam pikiran dan perasaan penyairnya.
          Perhatikan kutipan sajak Amir Hamzah berikut ini:
Nanar aku gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
          Dalam puisi di atas citraan penglihatan yang terasa ada dalam angan-angan pembaca. Pembaca seolah melihat sosok wanita rupawan yang mengintai dari balik tirai.
          Di samping citraan/imajinasi visual (yang menimbulkan pembaca seolah-olah dapat melihat sesuatu setelah membaca kata-kata tertentu), terdapat pula imajinasi lain, seperti imajinasi auditory (pendengaran), imajinasi articulatory (seolah mendengar kata-kata tertentu), imajinasi alfaktory (seolah membau/mencium sesuatu), imajinasi organik (seolah Anda seperti merasa lesu, capek, ngantuk, lapar, dan sebagainya).
          Setelah Anda dapat menafsirkan lambang-lambang dalam puisi, untuk mewujudkan keutuhan makna, Anda dapat lakukan langkah parafrasa puisi, memberi tanda jeda, serta tekanan atau intonasinya.                                                                                  Yang perlu diingat bahwa dalam mencoba memahami sebuah puisi perlu memperhatikan judul, arti kata, imajinasi, simbol, pigura bahasa, bunyi/rima, ritme/irama, serta tema puisi.
          Dengan Kasih Sayang
Dengan kasih sayang
kita simpan bedil dan kelewang.
Punahlah gairah pada darah.
Jangan!
Jangan dibunuh para lintah darat ciumlah mesra anak
jadah tak berayah dan sumbatkan jarimu pada mulut
peletupan karna darah para bajak dan perompak akan
mudah mendidih oleh pelor.
Mereka bukan tapir atau badak hatinya pun berurusan
cinta kasih seperti jendela terbuka bagi angin sejuk!
Kita yang sering kehabisan cinta untuk mereka cuma
membenci yang nampak rompak.
Hati tak bisa berpelukan dengan hati mereka.
Terlampau terbatas pada lahiriah masing pihak.
Lahiriah yang terlalu banyak meminta!
Terhadap sajak yang paling utopis bacalah dengan
senyuman yang sabar.
Jangan dibenci kaum pembunuh.
Jangan dibiarkan anak bayi mati sendiri.
Kere-kere jangan mengemis lagi.
Dan terhadap penjahat yang paling laknat pandanglah
dari jendela hati yang bersih.
                                                             WS. Rendra (Dikutip dari Empat Kumpulan Sajak                                                  
          Bulan Kota Jakarta
Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta tapi tak seorang menatapnya!
O, getirnya kulit limau!
O, betapa lunglainya!
Bulan telah pingsan.
Mama,bulan telah pingsan.
Menusuk tikaman beracun
dari lampu-lampu kota Jakarta
dan gedung-gedung tak berdarah
berpaling dari bundanya.
Bulannya! Bulannya!
Jamur bundar kedinginan
bocah pucat tanpa mainan, pesta tanpa bunga.
O, kurindu napas gaib!
O, kurindu sihir mata langit!
Bulan merambat-rambat.
Mama, betapa sepi dan sendirinya!
Begitu mati napas tabuh-tabuhan
maka penari pejamkan mata-matanya                                                                                                                       Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya.
Bulanku! Bulanku!
Tidurlah, sayang di hatiku!
                                                  WS. Rendra (Dikutip dari Empat Kumpulan Sajak)
          Kepada Peminta-minta
Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku
Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga
Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah.
Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaduk-aduk telingaku
Baik,baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
                                            Chairil Anwar (Dikutip dari Deru Campur Debu)
     DOA
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
dipintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
                                              Chairil Anwar (Dikutip dari Deru Campur Debu)
          Lagu Seorang Gerilya
Engkau melayang jauh, kekasihku.
Engkau mandi cahaya matahari.
Aku di sini memandangmu, menyandang senapan,
berbendera pusaka.
Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang
berdebu, engkau berkudung selendang katun di
kepalamu.
Engkau menjadi suatu keindahan, sementara dari jauh
resimen tank penindas terdengar menderu.
Malam bermandi cahaya matahari, kehijauan
menyelimuti medan perang yang membara.
Di dalam hutan tembakan mortir, kekasihku, engkau
menjadi pelangi yang agung dan syahdu
Peluruku habis dan darah muncrat dari dadaku.
Maka di saat seperti itu kamu menyanyikan lagu-lagu
perjuangan bersama kakek-kakekku yang telah gugur
di dalam berjuang membela rakyat jelata.
                                                         2 September 1977, Jakarta
* Puisi ini aku tulis untuk putraku, Isaias Sadewa
   WS. Rendra 
Dikutip dari Potret Pembangunan dalam Puis




Leave a Reply.